Reviewed by: Nunuk Aries Nurulita, Doctoral Student, Pharmaceutical Science, Universitas Gadjah Mada
Kaempferol, 3, 4′, 5, 7-tetra hydroxyflavon, suatu flavonoid golongan flavon, yang telah banyak diteliti memiliki potensi antioksidan dan proteksi selular. Senyawa ini juga telah banyak diteliti memiliki efek antiproliferatif pada berbagai type sel kanker antara lain; kanker paru, leukemia, esophangial, prostat, mulut, dan kanker kolon. Pada penelitian ini akan dieksplorasi mengenai potensi kaempferol sebagai antikanker pada osteosarkoma (sel kanker tulang).
Osteosarkoma merupakan kanker tulang ganas yang banyak diderita dari anak/remaja sampai pada kisaran umur sampai 20 tahun. Efektivitas terapi osteosarkoma masih relatif kecil, baik dengan pembedahan (11%) dan dikombinasi dengan pemberian agen kemoterapi (70%). Sebagian besar agen kemoterapi hanya bersifat paliatif dan bahkan dihadapkan pada permasalahan toksisitasnya. Bahkan pada tahap metastasis hanya 30% saja yang dapat diatasi. Sehingga untuk penanganan kasus osteosarkoma masih sangat dibutuhkan penelitian lebih lanjut agen-agen baru yang diharapkan menjadi kandidat agen kemoterapi yang efektif.
Apoptosis merupakan proses fisiologi normal dalam tubuh makhluk hidup dan menjadi target utama kebanyakan agen antikanker. Eksplorasi kaempferol sebagai antikanker terutama pada osteosarkoma masih memerlukan dukungan data yang kuat terkait dengan mekanismenya dalam menginduksi apoptosis. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melakukan investigasi efek apoptosis dan penelusuran mekanisme aksinya pada osteosakoma.
Pada penelitian ini digunakan 3 (tiga) tipe osteosarcoma, yaitu U-2 OS, HOB, dan 143B, serta hFOB, progenitor osteoblast, sebagai sel normal. Kaempferol dapat menekan pertumbuhan sel kanker osteosarkoma secara signifikan, terutama pada sel U-2 OS, tetapi tidak mempengaruhi pertumbuhan sel normal (hFOB). Perlakuan kaempferol menyebabkan perubahan morfologi sel secara signifikan dan menginduksi kerusakan dan fragmentasi DNA yang merupakan indikator awal adanya induksi apoptosis.
Untuk penelusuran mekanisme jalur signaling apoptosis diawali dengan melihat perubahan level Ca2+ dan potensial membran mitokondria. Perlakuan kaempferol dapat menyebabkan peningkatan level peningkatan Ca2+ pada sitosol dan penurunan potensial membran mitokondria. Peningkatan level Ca2+ pada sitosol terkait dengan stress yang terjadi pada retikulum endoplasma (ER stress), sedangkan penurunan potensial membran mitokondria terkait dengan pelepasan sitokrom c pada jalur intrinsik apoptosis.
Gambar 1. Stress pada reticulum endoplasmic selular dapat memacu apoptosis melalui jalur mitokondria. ER stress yang melibatkan beberapa protein, seperti GADD, ATF, dapat menyebabkan pelepasan Ca2+ ke sitosol. Peningkatan level ion ini akan mempengaruhi mitokondria terkait dengan jalur signaling apoptosis (Novo and Parola Fibrogenesis & Tissue Repair 2008 1:5)
Penelusuran mekanisme dilanjutkan pada protein terkait dengan jalur ER stress, yaitu GADD153, GRP78, GRP94, ATF-6α, ATF6β, caspase4, caspase12, calpain1, dan calpain2. Kecuali caspase12, kaempferol dapat menyebabkan peningkatan level protein tersebut, yang sekaligus juga menunjukkan bahwa kaempferol dapat menginduksi apoptosis melalui jalur ER stress. Untuk memastikan adanya keterlibatan penting jalur ER stress pada proses apoptosis akibat pemberian kaempferol, dilakukan dengan penanbahan dua buah senyawa, suatu agen pengkelat (BAPTA), yang diharapkan dapat menghambat fungsi Ca2+ dan suatu inhibitor calpain (calpeptin), yang akan menghambat fungsi calpain, suatu protease yang tergolong dalam Ca2+ dependent family, yang diup-regulasi oleh peningkatan level Ca2+ pada ER stress.
Adanya pengaruh viabilitas sel yang signifikan antara sel yang diberi agen pengkelat/inhibitor bersama dengan kaempferol, dibandingkan dengan pemberian kaempferol saja. Hasil ini menunjukkan bahwa aktivasi ER stress memegang peran penting pada induksi apoptosis oleh kaempferol pada osteosarkoma.
Perubahan potensial membran mitokondria sangat terkait dengan lokalisasi 2 (dua) protein anggota Bcl-2 famili yaitu Bax dan Bcl-2, serta rasio antara kedua protein tersebut yang terkait dengan regulasi pelepasan sitokrom c. Kaempferol meyebabkan up-regulasi level protein Bax dan down-regulasi Bcl-2. Analisis lebih jauh pada protein regulator apoptosis menunjukkan adanya peningkatan level ekspresi protein sitokrom c, Apaf-1, caspase-9, caspase-3, dan caspase-7, yang menunjukkan bahwa apoptosis yang diinduksi kaempferol melalui mitochondrial-dependent cascade. Level ekspresi caspase-8 yang tidak mengalami perubahan menunjukkan bahwa kaempferol tidak mengaktifkan jalur ekstrinsik apoptosis. Peran penting caspase pada aktivasi jalur ini direkonfirmasi dengan penambahan inhibitor caspase pada eksperimen, yang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dengan pemberian kaempferol saja.
Pengamatan level ekspresi protein AIF (apoptosis Inducing Factor) menunjukkan bahwa kemungkinan kaempferol juga dapat mengaktifkan jalur induksi apoptosis melalui mitokondria yang tidak tergantung caspase (caspase-independent mitochondrial pathway).
Efek antiproliferatif kaempferol ditujukkan dari data in-vivo menggunakan tikus BALB/c nu/nu yang diimplan suspense sel osteosarkoma. Kaempferol dapat menurunkan berat dan volume tumor yang sejalan dengan peningkatan dosis dan waktu pemberian pada tikus tersebut.
Kaempferol mempunyai kemampuan secara langsung dalam menghambat pertumbuhan dan proliferasi tumor, serta dapat menginduksi apoptosis sel tumor. Induksi apoptosis kaempferol melalui jalur mitochondria dependent, baik yang dependent caspase maupun yang independent caspase, dan jalur ER stress. Walaupun masih ada beberapa kontroversi terutama terkait dengan toksisitasnya pada sistem biologi normal, tetapi sekaligus dapat memberi harapan adanya kandidat obat anti kanker baru.
Daftar Pustaka