Kanker leher rahim adalah tumor ganas/karsinoma yang tumbuh di dalam leher rahim/serviks, yaitu suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dengan liang senggama (vagina). Kanker ini biasanya terjadi pada wanita yang telah berumur, tetapi bukti statistik menunjukan bahwa kanker leher rahim dapat juga menyerang wanita yang berumur antara 20 sampai 30 tahun (Anonim, 2007).
90% dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa (pada jaringan epitel) yang melapisi serviks sedangkan 10% berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke dalam rahim (Anonim, 2005).
INSIDENSI KANKER LEHER RAHIM
Pada tahun 2008, kasus Kanker Leher Rahim masih menduduki peringkat pertama insidensi kanker di Indonesia. Menurut sumber yang didapat, wanita yang telah terserang kanker ini lebih dipicu lagi dengan kebiasaan mereka akan merokok (Anonim, 2007).
Menurut para ahli kanker, kanker leher rahim adalah salah satu jenis kanker yang paling dapat dicegah dan disembuhkan dari semua kasus kanker. Meskipun demikian, di wilayah Australia barat, tercatat sebanyak 85 orang wanita didiagnosa positif terhadap kanker leher rahim setiap tahun. Dan pada tahun 1993, 40 wanita telah tewas menjadi korban keganasan kanker ini (Yohanes, 2000).
PENYEBAB
Penyebab paling utama kanker servik adalah anggota famili Papovirida yaitu HPV (Human Papiloma Virus) yang mempunyai diameter 55 µm dan virus ini ditularkan secara seksual. HPV memiliki kapsul isohedral yang telanjang dengan 72 kapsomer, serta mengandung DNA circular double stranded dengan panjang kira – kira 8000 pasang basa (La Russo, 2004; Sjamsuddin, 2001).
Berdasarkan penelitian Sjamsuddin (2001), disimpulkan bahwa terdapat 3 golongan tipe HPV dalam hubungannya dengan kanker serviks, yaitu : 1) HPV resiko rendah, yaitu HPV tipe 6 dan 11, 46 yang jarang ditemukan pada karsinoma invasif ; 2) HPV resiko sedang, yaitu HPV 33, 35, 40, 43, 51, 56, dan 58 ; 3) HPV resiko tinggi, yaitu HPV tipe 16, 18, 31. Ketiga jenis HPV ini dapat menyebabkan pertumbuhan sel yang abnormal, namun hanya tipe 2 dan 3 yang menyebabakan kanker (Anonim, 2006; Yamato et al., 2006).
FAKTOR RESIKO
Faktor resiko kanker leher rahim (Anonim, 2008b) :
1. Infeksi virus HPV (Human Papiloma Virus)
2. Penyakit menular seksual
3. Memulai aktifitas seksual pada usia yang sangat muda
4. Berganti-ganti pasangan seks
5. Pemakaian kontrasepsi
6. Pemakaian Dietilstilbestrol (DES)
7. Sering melahirkan
8. Penyakit yang menekan sistem imun
9. Merokok
10. Genetik
Gambar A. Anatomi tubuh wanita (www.medicinenet.com)
Gambar B. Kenampakan leher rahim sehat dan leher rahim yang terkena kanker (www.ehealthmd.com)
STADIUM
Untuk tumbuh menjadi kanker leher rahim dibutuhkan beberapa tahun sejak sel-sel leher rahim mengalami perubahan. Sel-sel leher rahim abnormal yang bukan merupakan sel kanker namun dapat berkembang menjadi kanker disebut dengan cervical intra-epithelial neoplasia (CIN). CIN juga disebut sebagai sel-sel prekanker yang jika tidak ditangani lebih lanjut akan berpotensi untuk berkembang menjadi kanker. Namun tidak semua wanita yang memiliki CIN akan menderita kanker. Keberadaan CIN identik dengan displasia (Anonim, 2003c).
Perkembangan kanker servik meliputi displasia ringan (5 tahun), displasia sedang (3 tahun), displasia berat (1 tahun) sampai menjadi kanker stadium 0. Tahap pra kanker ini sering tidak menimbulkan gejala (92%), selanjutnya masuk tahap kanker invasif berupa kanker stadium I sampai stadium IV (Anonim, 2003).
Menurut International Federation of Gynecologists and Obstetricians, perkembangan kanker leher rahim dibagi menjadi 5 stadium berdasarkan ukuran tumor, kedalaman penetrasi pada leher rahim dan penyebaran kanker di dalam maupun diluar leher rahim. Stadium-stadium tersebut adalah sebagai berikut (Canavan dan Doshi, 2000) :
Stadium | 0 | Terjadi pertumbuhan kanker (karsinoma) pada jaringan epitel leher rahim |
Stadium | I | Pertumbuhan kanker masih terbatas pada leher rahim |
Ia | Secara mikroskopis, kanker telah menginvasi jaringan (terjadi penetrasi). Ukuran invasi sel kanker : kedalaman < 5 mm, sedangkan lebarnya < 7 mm | |
Ia1 | Ukuran invasi mempunyai kedalaman < 3 mm dan lebar < 7 mm | |
Ia2 | Kedalaman invasi > 3 mm dan < 5 mm, lebar < 7 mm | |
Ib | Terjadi lesi yang ukurannya lebih besar dari lesi yang terjadi pada stadium Ia | |
Ib1 | Ukuran tumor < 4 cm | |
Ib2 | Tumor > 4 cm | |
Stadium | II | Karsinoma meluas sampai keluar leher rahim tetapi belum sampai dinding pelvis; karsinoma menyerang vagina tapi belum mencapai 1/3 vagina bagian bawah |
IIa | Belum ada parameter yang jelas | |
IIb | Parameter jelas | |
Stadium | III | Karsinoma meluas ke dinding pelvis; pada pemeriksaan rektal, tidak terlihat adanya ruang kosong antara tumor dan dinding pelvis; tumor menyerang 1/3 vagina bagian bawah; pada semua kasus juga ditemukan adanya hidronefrosis atau ginjal tidak berfungsi |
IIIa | Kanker tidak menjalar ke dinding pelvis, tapi menyerang 1/3 vagina bagian bawah | |
IIIb | Menjalar ke dinding pelvis, terjadi hidronefrosis atau kegagalan fungsi ginjal, atau keduanya | |
Stadium | IV | Karsinoma meuas melewati pelvis atau mukosa kandung kemih atau rektal |
IVa | Menyebar ke organ yang berdekatan | |
IVb | Menyebar ke organ yang jauh |
MEKANISME MOLEKULER
Kanker leher rahim yang disebabkan oleh beberapa tipe human papillomavirus (HPV) beresiko tinggi seperti HPV16 dan HPV18 memiliki onkogen E6 dan E7 dimana kedua ekspresi gen ini menjadi prasyarat bagi perkembangan kanker dan pertahanan fenotip malignan. Pemusnahan kedua onkogen ini dipertimbangkan untuk diaplikasikan pada terapi molekuler kanker servik (Yamato et al., 2006).
Protein E6 dan E7 dari HPV memodulasi protein seluler yang mengatur daur sel.
1.
a. Berikatan dengan protein selular yang disebut E6-associated protein (E6-AP) membentuk ubiquitin ligase E3 dengan target degradasi tumor suppressor p53 (Gewin et al., 2004). Degradasi p53 mengakibatkan sel tidak mengalami apoptosis ataupun memasuki cell cycle arest pada G1/S.
b.Menginduksi protein c-myc yang dapat memacu enzim telomerase yang menyebabkan sel bersifat immortal. Menstimulasi ekspresi eksogenus gen hTERT (human telomerase reverse transcriptase) yang mengkode subunit katalitik dari telomerase (Horner et al., 2004) selain itu induksi telomerase juga terjadi melalui perantara kompleks E6-AP (Gewin et al., 2004).
2. Protein E7
a. Mengikat bentuk aktif terhipofosforilasi dari p105Rb dan anggota-anggota famili retinoblastoma (Rb) lainnya dari protein tumor supresor mengakibatkan destabilisasi dan hilangnya kompleks pRb/E2F dimana kompleks pRb/E2F berfungsi menekan transkripsi gen yang dibutuhkan untuk progresi siklus sel. Jalur p53 dan pRb saling berhubungan satu sama lain: fosforilasi p105Rb yang mengakibatkan lepasnya kompleks Rb/E2F diperantarai oleh cyclin-dependent kinase (cdk) dihambat oleh p21 yang merupakan target transkripsi dari p53. Protein E6 dan E7 juga menunjukkan ketidaktergantungannya pada aktivitas p53 dan pRb (DeFilippis et al., 2003).
b.Protein E7 dapat menginhibisi p21 dan p27 (Fehrman, 2003).
Sebagian besar sel kanker servik mempunyai gen p53 dan p105Rb dalam bentuk wild type. Jadi, gen pengatur pertumbuhan yang aktif dalam sel normal ini juga terdapat dalam sel kanker leher rahim. Namun, aktivitasnya dihambat oleh ekspresi protein E6 dan E7 dari HPV (Goodwin dan DiMaio, 2000). Apabila ekspresi onkogen E6 dan E7 dihambat, maka protein tumor supresor p53 dan retinoblastoma aktif dan sel kanker servik mengalami senescence yang kemudian menyebabkan apoptosis (Horner et al., 2004).
Genom papilomavirus bereplikasi seperti plasmid ekstrakromosomal pada lesi premalignan dan juga terintegrasi pada sebagian besar karsinoma leher rahim secara acak. (Dalimartha, 1999; Matsukura et al., 1989). Genom virus yang terintegrasi ini akan memberikan mekanisme :
Ekspresi E6 dan E7 dihambat oleh E2. E2 dapat menekan ekspresi E6 dan E7 karena E2 akan berikatan pada promotor awal HVP, sehingga akan menghalangi ikatan dua faktor transkripsi esensial, TBP dan Sp1 (Desaintes et al., 1999). Namun, E2 tidak diekspresikan pada viral DNA yang terintegrasi ada genom sel inang, karena gen E2 mengalami splitting dan menjadi in aktif. Akibatnya, dalam keadaan tanpa repressor, protein E6 dan E7 terekspresi dalam jumlah tinggi sehingga menyebabkan tumor suppressor protein, yaitu p53 dan p105Rb tidak aktif dan menstimulasi pertumbuhan (Hwang et al., 1993).
CARA DETEKSI KANKER LEHER RAHIM
Layaknya semua kanker, terjadinya kanker leher rahim ditandai dengan adanya pertumbuhan sel-sel pada leher rahim yang tidak lazim (abnormal). Tetapi sebelum sel-sel tersebut menjadi sel-sel kanker, terjadi beberapa perubahan yang dialami oleh sel-sel tersebut. Perubahan sel-sel tersebut biasanya memakan waktu sampai bertahun-tahun sebelum sel-sel tadi berubah menjadi sel-sel kanker. Selama jeda tersebut, pengobatan yang tepat akan segera dapat menghentikan sel-sel yang abnormal tersebut sebelum berubah menjadi sel kanker. Sel-sel yang abnormal tersebut dapat dideteksi kehadirannya dengan suatu test yang disebut “Pap smear test”, sehingga semakin dini sel-sel abnormal tadi terdeteksi, semakin rendahlah resiko seseorang menderita kanker leher rahim.
Pap smear test merupakan suatu test yang aman, cepat dan murah dan telah dipakai bertahun-tahun untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang terjadi pada sel-sel leher rahim. Test ini ditemukan pertama kali oleh Dr. George Papanicolou, sehingga dinamakan Pap smear test. Pap smear test adalah suatu metode pemeriksaan sel-sel yang diambil dari leher rahim dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi dari sel tersebut. Dalam keadaan berbaring terlentang, sebuah alat yang dinamakan spekulum akan dimasukan kedalam liang senggama. Alat ini berfungsi untuk membuka dan menahan dinding vagina supaya tetap terbuka, sehingga memungkinkan pandangan yang bebas dan leher rahim terlihat dengan jelas. Sel-sel leher rahim kemudian diambil dengan cara mengusap leher rahim dengan sebuah alat yang dinamakan spatula, suatu alat yang menyerupai tangkai pada es krim, dan usapan tersebut dioleskan pada obyek-glass, dan kemudian dikirim ke laboratorium patologi untuk pemeriksaan yang lebih teliti (Dolinsky, 2002).
Prosedur pemeriksaan Pap smear test mungkin sangat tidak menyenangkan, tetapi tidak akan menimbulkan rasa sakit. Pap smear test dilakukan seminggu atau dua minggu setelah berakhirnya masa menstruasi. Bagi orang yang telah tidak haid, Pap smear test dapat dilakukan kapan saja. Tetapi jika kandung rahim dan leher rahim telah diangkat atau dioperasi (hysterectomy atau operasi pengangkatan kandung rahim dan leher rahim), Pap smear test tidak perlu lagi dilakukan karena secara otomatis orang tersebut telah terbebas dari resiko menderita kanker leher rahim. Pap smear test biasanya dilakukan setiap dua tahun sekali, dan lebih baik dilakukan secara teratur. Hal yang harus selalu diingat adalah tidak ada kata terlambat untuk melakukan Pap smear test. Pap smear test selalu diperlukan meskipun tidak lagi melakukan aktifitas seksual (Anonim, 2003b).
Jika terjadi pendarahan setelah aktivitas sexual atau diantara masa menstruasi terjadi dan terjadi keluarnya cairan (discharge) maka harus segera dilakukan pemeriksaan ke dokter. Adanya perubahan tersebut bukanlah suatu hal yang normal, dan pemeriksaan yang teliti harus segera dilakukan walaupun baru saja melakukan Pap smear test.
Hasil ‘Pap Smear’ dikatakan abnormal jika sel-sel leher rahim ketika diperiksa di bawah mikroskop akan memberikan penampakan yang berbeda dengan sel normal. Kejadian ini biasanya terjadi 1 dari 10 pemeriksaan ‘Pap Smear’ (Sofyan, 2000). Beberapa faktor yang dapat memberikan indikasi diketemukannya penampakan ‘Pap Smear’ yang abnormal adalah:
1.Unsatisfactory ‘Pap Smear’. Pada kasus ini, berarti pegawai di Lab tersebut tidak bisa melihat sel-sel leher rahims dengan detail sehingga gagal untuk membuat suatu laporan yang komprehensive kepada dokter. Oleh karena itu harus dilakukan Pap Smear test kembali (Sofyan, 2000).
2.Jika ada infeksi atau inflamasi. Kadang-kadang pada pemeriksaan ‘Pap Smear’ memberikan penampakan terjadinya inflamasi. Ini berarti bahwa sel-sel di dalam leher rahim mengalami suatu iritasi yang sifatnya ringan. Memang kadang-kadang inflamasi dapat kita deteksi melalui pemeriksaan ‘Pap Smear’, biarpun kita tidak merasakan keluhan-keluhan karena tidak terasanya gejala klinis yang ditimbulkannya. Sebabnya bermacam-macam, mungkin telah terjadi infeksi yang dikarenakan oleh bakteri, atau karena jamur’. Oleh karena itu harus dilakukan Pap Smear test kembali setelah infeksi atau inflamasi sembuh (Sofyan, 2000).
3.Atypia atau Minor Atypia. Yang dimaksud dengan keadaan ini adalah jika pada pemeriksaan ‘Pap Smear’ terdeteksi perubahan-perubahan sel-sel leher rahim, tetapi sangat minor dan penyebabnya tidak jelas. Pada kasus ini, biasanya hasilnya dilaporkan sebagai ‘atypia’. Biasanya terjadinya perubahan penampakan sel-sel tersebut dikarenakan adanya peradangan, tetapi tidak jarang pula karena infeksi virus. Karena untuk membuat suatu diagnosa yang definitif tidak memungkinkan pada tahap ini, sehingga harus dilakukan pemeriksaan lagi dalam waktu enam bulan. Pada umumnya, sel-sel tersebut akan kembali menjadi normal lagi. Jadi, sangat penting melakukan ‘Pap Smear’ kembali untuk memastikan bahwa kelainan-kelainan yang tampak pada pemeriksaan pertama tersebut adalah gangguan yang tidak serius. Jika hasil pemeriksaan menunjukan hasil yang sama maka disarankan untuk menjalani kolposkopi (Sofyan, 2000).
Kolposkopi adalah suatu prosedur pemeriksaan vagina dan leher rahim oleh seorang dokter yang berpengalaman dalam bidang tersebut. Dengan memeriksa permukaan leher rahim, dokter akan menentukan penyebab abnormalitas dari sel-sel leher rahims seperti yang dinyatakan dalam pemeriksaan ‘Pap Smear’. Cara pemeriksaan kolposkopi adalah sebagai berikut: dokter akan memasukkan suatu cairan kedalam vagina dan memberi warna saluran leher rahim dengan suatu cairan yang membuat permukaan leher rahim yang mengandung sel-sel yang abnormal terwarnai. Kemudian dokter akan melihat kedalam saluran leher rahim melalui sebuah alat yang disebut kolposkop. Kolposkop adalah suatu alat semacam mikroskop binocular yang mempergunakan sinar yang kuat dengan pembesaran yang tinggi (Anonim, 2003b).
Jika area yang abnormal sudah terlokalisasi, dokter akan mengambil sampel pada jaringan tersebut (melakukan biopsi) untuk kemudian dikirim ke lab guna pemeriksaan yang mendetail dan akurat. Pengobatan akan sangat tergantung sekali pada hasil pemeriksaan kolposkopi (Yohanes, 2000).
PENCEGAHAN
Yang harus dilakukan untuk menghindari kanker leher rahim adalah pertama, jika pernah melakukan hubungan seksual maka harus melakukan Pap smear test secara teratur setiap dua tahun dan ini dilakukan sampai berusia 70 tahun. Pada beberapa kasus mungkin dokter menyarankan untuk melakukan Pap smear test lebih sering. Hal yang ke dua adalah melaporkan adanya gejala-gejala yang tidak normal seperti adanya perdarahan, terutama setelah coitus (senggama). Hal yang ke tiga adalah tidak merokok. Data statistik melaporkan bahwa resiko terserang kanker leher rahim akan menjadi lebih tinggi jika wanita merokok. Dengan melakukan beberapa tindakan yang dapat memperkecil resiko tersebut, maka kejadian kanker leher rahim ini dapat dihindari (Zhao, 2004).
PENGOBATAN
Terapi untuk kanker leher rahim berbeda untuk tiap stadium kanker. Pada stadium awal dapat dilakukan pembedahan terhadap jaringan yang mengandung sel kanker. Pada stadium selanjutnya, terapi dilakukan dengan radioterapi, kemoterapi, maupun kemoradioterapi. Jenis terapi ini dapat berpengaruh pada sel normal (La Russo, 2004).
Jika perubahan awal sel leher rahim telah diketahui, pengobatan yang umum diberikan adalah dengan:
1.Pemanasan, diathermy atau dengan sinar laser.
2.Cone biopsi, yaitu dengan cara mengambil sedikit dari sel-sel leher rahim, termasuk sel yang mengalami perubahan. Tindakan ini memungkinkan pemeriksaan yang lebih teliti untuk memastikan adanya sel-sel yang mengalami perubahan. Pemeriksaan ini dapat dilakukan oleh ahli kandungan (Anonim, 2007).
Jika perjalanan penyakit telah sampai pada tahap pre-kanker, dan kanker leher rahim telah dapat diidentifikasi, maka untuk penyembuhan, beberapa hal yang dapat dilakukan adalah:
1.Operasi, yaitu dengan mengambil daerah yang terserang kanker, biasanya uterus beserta leher rahimnya.
2.Radioterapi yaitu dengan menggunakan sinar X berkekuatan tinggi yang dapat dilakukan secara internal maupun eksternal (Tyagi, 2000).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008b, What Are The Risk Factor for Cervical Cancer, http://www.cancer.org, diakses November 2008.
Anonim, 2007, Kanker : Pertumbuhan, Terapi dan Nanomedis, http://www.nano.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1187593839, diakses 25 Juli 2008.
Anonim, 2006, Human Papillomavirus, www.answers.com/topic/human papillomavirus. diakses 2006.
Anonim, 2005, Kesehatan Wanita /Definisi, http://www.medicastore.com/cybermed/Masalah, diakses 2006.
Anonim, 2003, Bahaya Kanker Rahim Bagi Wanita, http://situs.kesrepro.info/aging /mar/2003/ag03.htm, diakses 2006.
Anonim, 2003b, Deteksi Dini Kanker Leher Rahim, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0203/22/hikmah/indeks/html, diakses 25 Juli 2008.
Anonim, 2003c, it develops, http://www.cancerbacup.org.uk/Cancertype/Cervix/General/How, diakses 2006.
Canavan, T. P. dan Doshi, N. R., 2000, Cervical Cancer, http://www.aafp.org, diakses 2008.
Dalimartha, S., 1999, Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Kanker, Cetakan II, 11, PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
DeFilippis, R.A., Goodwin, E.C., Lingling Wu, dan DiMaio, D., 2003, Endogenous Human Papillomavirus E6 and E7 Proteins Differentially Regulate Proliferation, Senescence, and Apoptosis in HeLa Cervical Carcinoma Cells, J Virol., 77 (2): 1551-1563.
Desaintes, C., Goyat, S., Garbay, S., Yaniv, M., dan Thierney, F., 1999, Papillomavirus E2 Induces p53-Independent Apoptosis in HeLa Cells, Oncogene, 18 : 4583-4545.
Dolinsky, C., 2002, Breast Cancer : The Basic, Abramson Cancer Center of The University of Pensylvania, http://www.oncolink.org, diakses 25 Juli 2008.
Fehrman, F., dan Laimins, L.A., 2003, Human Papillomaviruses: Tergeting Differentiating Ephitelial Cells For Malignant Transformation, Oncogen, 22, 5201-5207.
Gewin, L., Hadley, M., Kiyono, T., dan Galloway, D.A., 2004, Identification of A Novel Telomerase Repressor that Interacts with The Human Papillomavirus Type-16 E6/E6-AP Complex, Gene and Development, 18: 2269-2282.
Goodwin, E.C., DiMaio, D., 2000, Repression of human papillomavirus oncogenes in Hela cervical carcinoma cells causes the orderly reactivation of dormant tumor suppressor pathways, Biochemistry, 97, no.23.
Horner, S.M., DeFilippis, R.A., Manuelidis, L., dan DiMaio, D., 2004, Repression of the Human Papillomavirus E6 Gene Initiates p53-Dependent, Telomerase-Independent Senescence and Apoptosis in HeLa Cervical Carcinoma Cells, J. Virology, 78 (8): 4063-4073.
Hwang, E.S., Riese, D.J., Settleman, J., Nilson, L.A., Honig, J., Fyynn, S., dan DiMaio, D., 1993, Inhibition of Cervical Carcinoma Cell Line Proliferation by the Introduction of a Bovine Papillomavirus Regulatory Gene, J. Virology, 67 (7): 3720-3729.
La Russo, L., 2004, Cervical Cancer (Cancer of The Cervix), http://healthlibrary.epnet.com/print.aspx?token=050d319a-eac2-4088-bf68-b43b73e8cab0&chunkiid=11969, diakses 2006.
Matsukura, T., Koi, S., dan Sugase, M., 1989, Both Episomal and Integrated Forms of Human Papillomavirus Type 16 are Involved in Invasive Cervical Cancers, Virology, 172 (1): 63-72.
Nair, P., Jayaprakash, P.G., Nair, K.M., and Pillai, M.R., 2000, Telomerase, p53 and Human Papillomavirus Infection in the Uterine CervVIII, Acta Oncologica, 39 (1): 65 – 70.
Sjamsuddin, S., 2001, Pencegahan dan Deteksi Dini Kanker Serviks, Cermin Dunia Kedokteran, 133: 8-13.
Sofyan, R., 2002, Terapi Kanker pada Tingkat Molekuler, Cermin Dunia Kedokteran, 127:5-10.
Tyagi, A. K., Agarwal C., Chan D. C. F., dan Agarwal R., 2004, Synergistic Anti Cancer Effects of Silibinin with Conventional Cytotoxic Agents Doxorubicin, Cisplatin and Carboplatin against Human Breast Carcinoma MCF-7 and MDA-MB468 Cells, Oncology Reports, 11:493-499.
Yamato, K., Fen, J., Kobuchi, H., Nasu, Y., Yamada,T., Nishihara, T., Ikeda, Y., Kizaki, M., and Yoshinouchi M., 2006, Induction of Cell Death in Human Papillomavirus 18-Positive Cervical Cancer Cells by E6 siRNA, Cancer Gene Therapy, 13: 234-241.
Yohanes, R., 2000, The Evaluation of Breast Cancer. New South Wales: Australia ltd.co.al.
Zhao, L., Wientjes, M. G., dan Au J.L-S., 2004, Evaluation of Combination Chemotherapy: Integration of Nonlinear Regression, Curve Shift, Isobologram, and Combination Index Analyses, Clin. Canc. Res., 10:7994-8004.
KONTRIBUTOR
Sendy Junedi, Rosana Anna Ashari, Fany Muthia C, Titi Ratna Wijayanti, Esti widayanti, Nur Latifah Sri Wijayanti, Andrrea Thea Rhosita dan Agus Setiawan.